Sosok Kyai Merakyat (Alm. KH. Abdul Haq Zaini, Lc)- Pengasuh PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
KH Abdul Haq Zaini, lahir pada tanggal 5 Mei 1953 di Tanjung, Paiton Probolinggo. Ra (Gus) Abdul Haq kecil lahir dalam keadaan tidak normal. “Tubuhnya terbungkus semacam kulit tipis,” kata Ratib (61) santri senior Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Melihat keganjilan tersebut, lanjut Ratib, ayahandanya berdoa kepada Allah agar bayi Ra Abdul Haq bisa tumbuh normal. Seiring doa ayahandanya, akhirnya telinga Ra Abdul Haq kecil mulai keluar dari kulit yang membungkus seluruh tubuhnya. Kemudian perlahan-lahan menjadi normal sebagaimana layaknya anak kecil lainnya. “Hanya saja, di ujung bagian telinga kanannya berlubang,” kata Ratib.
Sejak kecil, Ra Abdul Haq senang olah raga. Salah satunya adalah pencak silat. Saat itu beliau berniat berguru kepada ayahandanya. Namun karena tingginya tingkat kesibukan ayahandanya, ia dianjurkan untuk berguru pada orang lain.
Selain gemar olah raga, saat remaja Ra Abdul Haq dikenal sebagai pemuda yang sangat pandai bergaul dengan orang lain. “Ia paling mudah akrab dengan para santri, dan tidak membeda-bedakannya,” kata Ratib yang pernah menjadi guru Ra Abdul Haq di Madrasah Aliyah Nurul Jadid.
Dalam pendidikan, Ra Abdul Haq acapkali tidak masuk sekolah. Beliau lebih senang bermain bersama kawan-kawannya. Namun demikian, nilai ujiannya di sekolah senantiasa baik mulai dari MI, MTs hingga MA.
Selain dikenal cerdas, Ra Abdul Haq juga dikenal sebagai anak yang memiliki budi pekerti yang baik. “Beliau selalu memperhatikan materi yang diberikan guru dengan seksama. Beliau juga selalu hormat kepada guru-gurunya,” kata Ratib.
Perhatian terhadap Akhlak tersebut senantiasa Ra Abdul Haq jaga hingga menjadi Ketua Yayasan Pondok Pesantren Nurul Jadid. Di balik wajah beliau yang keras, bibir beliau senantiasa mengembang tulus bila bertemu dengan para santri, dan juga orang lain.
Kebiasaan bermurah hati kepada orang lain itu, terinspirasi dari kakak kandung beliau, KH Moh Hasyim Zaini. Menurut almarhum Kiai Hasyim bersikap murah hati kepada setiap orang adalah bagian dari latihan kesabaran.
“Setinggi apa pun kitab (ilmu) seseorang, ujungnya adalah tingkah laku,” pesan Kiai Abdul Haq kepada Hafidz, dua hari sebelum beliau wafat.
***
PADA tahun 1986, Kiai Abdul Haq terpilih menjadi Kepala Biro Kepesantrenan Nurul Jadid. Menurut Faizin Syamweil, sebagai Kepala Biro Kepesantrenan beliau lebih senang menempatkan diri sebagai mitra kerja dengan para pengurus pesantren dari pada sebagai salah satu dari jajaran pengasuh.
Sikap Kiai Abdul Haq itu membawa angin segar dalam tubuh biro kepesantrenan. Roda organisasi berjalan dinamis. Para pengurus menjadi lebih leluasa berdiskusi dengan pemimpinnya, dan mereka menjadi lebih bersemangat dalam bekerja.
“Hanya saja, gaya kiai yang leluasa itu tak jarang menjadikan kawan-kawan terjebak dan kebablasan menganggap Kiai Abdul Haq sebagai kawan,” kenang Faizin, kepala Biro Kepesantren Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Namun demikian, lanjut Faizin, Kiai Abdul Haq merasa senang. Karena tujuan beliau bersikap demikian adalah agar para pengurus bisa berterus terang saat menyampaikan sesuatu kepada beliau.
Meski Kiai Abdul Haq dikenal akrab dengan para pengurus pesantren, namun pada saat tertentu di mana beliau dituntut untuk menjadi salah seorang dari jajaran pengasuh, maka beliau pun menjadi sosok kiai yang sangat disegani oleh para pengurus pesantren.
Sebagai Kepala Biro Kepesantrenan, Kiai Abdul Haq tak jemu-jemu melakukan kaderisasi kepada para pengurus biro kepesantrenan. Misalkan, bila muncul persoalan di antara santri, beliau tak langsung menanganinya. Biasanya persoalan itu diberikan terlebih dahulu kepada pengurus. Ini beliau lakukan, selain untuk menjalankan job discription masing-masing bagian dalam biro kepesantrenan, juga untuk melihat sejauh mana kemampuan para pengurus pesantren bisa meredakan pelbagai persoalan yang muncul di antara santri.
Lebih jauh, sebagai seorang
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu. Amin.
BalasHapus