Reporter :
Eko | Senin, 22 Februari 2016 07:27
Terry Colin Holdbrooks (Saudi Gazette)
Tentara AS ini menemukan pemandangan mengerikan di Guantanamo. Dari sanalah dia mengenal dan memeluk Islam.
Dream - Hidayah
Allah bisa datang kepada siapa saja. Kapan saja, dan di mana saja. Jika
Allah sudah berkehendak, tak ada yang bisa mencegahnya.
Itulah yang dirasakan oleh Terry Colin
Holdbrooks. Dia mengenal Islam justru bukan dari masjid atau surau.
Tentara Amerika Serikat itu menemukan Islam di dalam penjara paling
mengerikan di dunia: Guantanamo!
Holdbrooks bukanlah pria yang tumbuh
dari keluarga religius. Sampai lulus SMA, dia tak tahu tujuan hidup.
Hingga akhirnya melihat iklan di televisi tentang perekrutan militer AS.
Dia tertarik. Dan mengajukan lamaran.
Tapi ditolak. Mencoba lagi, kembali ditolak. Holdbrooks baru diterima
setelah lamaran ke empat. Setelah menjalani tes, dia ternyata mendapat
nilai tinggi.
Tim rekrutmen mengundangnya kembali.
Berdiskusi tentang karier di militer AS yang akan dia jalani. Dan pada
2002, Holdbrooks bergabung dengan tentara dan mulai latihan sebagai
polisi militer.
Pada Mei 2002, Holdbrooks dikirim ke
kamp tehanan Guantanamo Bay. Militer AS selalu menyiapkan personelnya
sebelum dikirim ke sana. Holdbrooks dan kawan-kawannya dicekoki
propaganda.
Di kamp pelatihan, saban hari mereka
didoktrin bahwa penghuni penjara itu adalah orang yang paling buruk di
antara orang terburuk di dunia. Para tahanan yang mayoritas Muslim itu
disebut teroris.
Tak hanya itu, doktrin yang dijejalkan
ke otak Holdbrooks dan personel lain menyebut bahwa para tahanan itu
sangat membenci dan semua ingin membunuh orang AS. Dan semua itu terkait
Islam.
Propaganda meresap. Para tentara itu
dikirim ke Guantanamo dengan pesawat. Dalam hati mereka telah tertancap
kebencian terhadap Muslim. Itu juga dirasakan Holdbrooks.
Tapi, setelah tiba di Guantanamo,
Holdbrooks sungguh terkejut. Di sana dia melihat pemandangan yang sangat
berbeda dengan gambaran sebelumnya. Sama sekali berbeda dari yang
diinformasikan sebelumnya.
Dari 780 tahanan, ada dua remaca berusia
13 tahun. Ada pula kakek-kakek yang berusia lebih dari 70-an tahun. Tak
ada tanda-tanda kebrutalan pada mereka.
Para tahana itu adalah orang-orang
Muslim dari 46 negara, berbicara dalam 18 bahasa berbeda. Mayoritas dari
mereka ditahan tanpa musabab yang jelas. Bukti penangkapan tak cukup
kuat untuk menahan mereka di Guantanamo. Penjara paling mengerikan itu.
Lambat laun, tabir kebohongan di Guantanamo mulai tersibak. Holdbrooks mulai melihat kebenaran dan keyakinan.
Di Guantanamo itu, Holdbrooks
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana penjaga memerlakukan
tahanan dengan buruk. Untuk meruntuhkan semangat tahanan, para penjaga
terkadang mengambil Alquran dari mereka. Membuang dan bahkan merobeknya.
Tak hanya itu. Raung kesakitan selalu
menggema di kamp itu. Tanda penjaga tengah menyiksa tahanan. Holdbrooks
mulai bertanya tentang apa yang tengah dia jalani saat itu.
“Apakah ini tentara yang kuikuti? Apakah
ini yang diperjuangkan negaraku? Apakah ini perilaku yang dilakukan
Amerika? Apakah ini membuat negaraku bangga?” Berbagai tanya itu
menggumpal dalam benak dan hati Holdbrooks.
Dia tak suka dengan kondisi itu. Setiap
hari setelah berjaga, dia pulang ke rumah. Minum sebanyak-banyaknya
untuk menenangkan diri. Dia tidur larut malam. Semua dilakukan untuk
menghilangkan rasa bersalah dan malu. Tapi kondisi itu malah bertambah
buruk.
Dia lalu mulai memperhatikan perilaku
para tahanan. Di tengah siksaan yang mendera, seperti dicambuk dan
siksaan yang tak berperi itu, Holdbrooks melihat para tahanan masih saja
berdoa.
Holdbrooks melihat para tahanan
menjalankan salat saban pagi, siang, sore, dan bahkan malam hari. Para
tahanan itu berwudu. Berdoa kepada Allah. Baik berjamaah maupun
sendiri-sendiri.
Dari sanalah mata Holdbrooks terbuka.
Sadar bahwa para tahanan itu sangat percaya Allah mempedulikan mereka.
Dan seorang tahanan yang beruntung masih memiliki Alquran, mengajak
sesama tahanan untuk membacanya.
Mereka tersenyum. Bicara mereka pelan, tak kasar. Mereka tak menenggak alkohol, juga tak menyantap daging babi.
Perilaku ini membuat Holdbrooks bingung.
Pasti ada sesuatu yang keliru. Sesuatu yang tidak disampaikan oleh
militer AS kepadanya.
Dalam hati dia berkata. “Bagaimana bisa
mereka masih punya keyakinan, kekuatan, dan kedamaian hati untuk berdoa
kepada Allah? Mengapa mereka berdoa? Mengapa aku tak punya kebahagiaan
itu? Mengapa aku tak punya kedamaian itu? Aku ingin itu.”
Saat Holdbrooks bertanya kepada para
tahanan, mengapa mereka masih punya keyakinan meski menghadapi
kemungkinan terburuk yang tak pernah dibayangkan, mereka menjawab,
“Allah hanya menguji agama kami, keyakinan kami. Kami bisa melewati
ini.”
Jawaban itu membawa Holdbrooks mendalami
konsep agama. Dia mulai membaca buku-buku Islam. Duduk di lantai, di
luar sel tahanan, dia bertanya kepada seorang tahanan khusus.
Setelah itu, dia mulai membaca Alquran.
Mulailah Holdbrooks mengubah gaya hidupnya. Meski belum siap menjadi
Muslim, dia berusaha sedikit demi sedikit.
Dia berhenti minum alkohol. Tak lagi
makan babi. Mengurangi rokok. Dia menghabiskan waktunya untuk belajar
dan membaca. Dan yang mengagumkan, dia menjadi lebih bahagia.
Dan pada 29 Desember 2003, Holdbrooks
membaca Syahadat di depan tahanan khusus yang menjadi pembimbingnya.
Holdbrooks menjadi Muslim.
Pada akhir 2004, Holdbrooks tak lagi
berdinas militer. Dia kembali ke AS dengan memori menakutkan tentang
Guantanamo. Namun kemudian dia menemukan jalan untuk menjalani
kehidupannya lagi.
Dia terus belajar hidup sebagai Muslim.
Dia kembali bersekolah, hingga merengkuh gelar sarjana sosiologi dari
Arizona State University. Kini dia aktif menuntut penutupan Guantanamo.
Penjara paling mengerikan itu. (Ims, Sumber: Saudi Gazette)
Komentar
Posting Komentar